Kiansantang itu adalah Sayyidina Ali, yang tinggal
jauh di Tanah Mekah. Sebetulnya pada waktu itu Sayyidina Ali telah wafat,
tetapi kejadian ini dipertemukan secara goib dengan kekuasaan Allah Yang Maha
Kuasa.
Lalu orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang, "Kalau memang anda mau bertemu dengan Sayyidina Ali harus melaksanakan dua syarat : Pertama, harus mujasmedi dulu di ujung kulon. Kedua, nama harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang - Berani, Setra - Bersih-Suci). Setelah Prabu Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut, maka berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah.
Setiba di tanah Mekah dia bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Sayyidina Ali, tetapi Kiansantang tidak mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali. Prabu Kiansantang yang namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan kepada laki-laki itu, "Kenalkah dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?" Laki-laki itu menjawab bahwa ia kenal, malah bisa mengantarkannya ke tempat Sayyidina Ali.
Sebelum berangkat laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah, yang tak diketahui oleh Galantrang Setra. Setelah berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata, "Wahai Galantrang Setra tongkatku ketinggalan di tempat tadi, coba tolong ambilkan dulu." Semula Galantrang Setra tidak mau, tetapi Sayyidina Ali mengatakan, "Kalau tidak mau ya tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina Ali."
Terpaksalah Galantrang Setra kembali ke tempat bertemu, untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan, dikira tongkat itu akan mudah lepas. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut, malahan tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi dia berusaha mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat tenaga dengan disertai tenaga bathin. Tetapi daripada kecabut, malahan kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam tanah, dan keluar pulalah darah dari seluruh tubuh Galantrang Setra.
Tongkat Ali bin Abu Thalib yang dihadiahkan
pada Rakeyan Sancang yang berada di Kaum Pusaka (Yayasan Pusaka Muslimin
diketuai Ucep Jamhari) Cinunuk Garut. Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya
tadi namanya Sayyidina Ali. Setelah Prabu Kiansantang meninggalkan kota Mekah
untuk pulang ke Tanah Jawa (Padjadjaran) dia terlunta-lunta tidak tahu arah
tujuan, maka dia berpikir untuk kembali ke tanah Mekah lagi. Maka kembalilah
Prabu Kiansantang dengan niatan akan menemui Sayyidina Ali dan bermaksud masuk
agama Islam. Prabu Kiansantang masuk agama Islam, dia bermukim selama dua puluh
hari sambil mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Sunda
(Padjadjaran) untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya.
Setibanya di Padjadjaran dan bertemu dengan ayahnya, dia menceritakan
pengalamannya selama bermukim di tanah Mekah serta pertemuannya dengan
Sayyidina Ali. Pada akhir ceritanya dia memberitahukan dia telah masuk Islam
dan berniat mengajak ayahnya untuk masuk agama Islam.
Judul artikel : “Prabu Kiansantang” https://id.wikipedia.org/wiki/Prabu_Kiansantang